SANG IDOL
Namaku Jonathan Steel aku terlahir dari orang tua bernama William dan Elizabeth Steel. Aku punya kakak bernama Michael. Dia lima tahun lebih tua dariku. Ayahku menjulukinya Si Merah walaupun dia berambut pirang. Namun demikian dia terperangkap dengan nama itu. Dari awal aku sudah tahu kalau ayahku begitu dekat dengan Michael, dan aku tak dianggap dalam rencana ayahku . Dan saat aku tumbuh dewasa, perbedaan yang mencolok antara aku dan Michael membuatku sedikit ragu akan pandangan yang aku dapat dari mata ayahku. Baginya, Michael tak pernah salah dan aku hanya seorang bocah tak terlihat dan selalu dianggap sebagai kambing hitam. Dan aku menyadari bahwa Merah dan Hitam tak bisa sesuai. Hantaman mental yang kudapat membuatku lebih dan lebih ingin bertanya tentang poin penting yang selama ini aku pendam. "apakah aku seorang anak yang tak pernah diinginkan?" Itulah pertanyaan yang selalu aku pendam. Namun anehnya aku selalu ingin mengikuti jejak ayahku.
Michael dan aku seperti campuran yang aneh, kami bagai cahaya dan kegelapan. Sangat sulit dipercaya bahwa kami lahir dari orang tua yang sama. Terkadang aku membayangkan seandainya mereka bertiga pergi bersama, namun selalu saja hal itu tak bisa diwujudkan. Tapi Michael yang selalu melihat ketidaksukaan orang tuaku terhadapku, selalu mencoba yang terbaik untuk menyemangatiku. Dia selalu menyemangati diriku tentang diriku yang selalu dibedakan dan dia tahu itu. Michael selalu berkata bahwa ketika aku lahir, dia melihat malaikat terbang di atas tubuhku dan berkata "kau harus menjadi seseorang". Dan aku tak mengerti apa arti "seseorang" itu, namun ketika aku mulai dewasa aku mulai mengerti artinya.
Beberapa anak biasanya menempatkan ibu mereka sebagai sahabat, namun tidak demikian dengan diriku. Ibuku berpendirian, tidak berpendidikan, kadang-
kadang berprasangka, sombong, percaya segala
sesuatu yang dia baca, walaupun itu benar atau tidak. Pikirannya membingungkan tapi dia cantik,
sangat cantik dan aku sering bertanya-tanya dalam batasan kebingungan, bagaimana seseorang dengan deskripsi seperti ini bisa
hidup rasional. Itullah serangkaian karakter yang sering kujumpai dalam hidupku.
Dalam rasa sakit, misteri dari semua penderitaanku membuatku mengartikan apa arti hidupku ini; depresi adalah musuhku, ketakutan adalah temanku, kebencian adalah sahabatku, dan kemarahan adalah penyemangatku. Empat karakter dalam kehidupanku yang akan kujadikan penjaga dalam hidupku dan pengontrol semua yang aku lakukan. Hingga sampai suatu hari karakter-karakter itu mulai memudar
Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke 14, Hari yang mengubah kehidupanku untuk selamanya. Kakakku Michael, seseorang yang selalu melindungiku, temanku, pahlawanku terbunuh. Dia ditabrak oleh pengendara mabuk. Dia tewas seketika. Aku bahkan tidak bisa berdiri untuk pergi
ke pemakamannya. Kesedihanku bertambah karena aku tahu aku takkan melihatnya lagi. Ketidakhadiranku di pemakaman Michael membuat kebencian orang tuaku padaku bertambah. Dan sejak saat itu, tak ada yang menghiraukanku, aku bagai hidup di neraka yang aku sebut "rumah" . Setahun setelah kematiannya aku semakin muak dengan rumahku, Aku lebih sering berkeliaran di jalan-jalan dalam kabut
hampir tidak sadar akan apapun atau siapapun. Minum-minuman, mengonsumsi obat-obatan adalah kehidupan baru yang aku anggap menarik, menakutkan sekaligus berbahaya.
Selanjutnya aku tak pernah lagi pulang ke rumah. Aku hidup dijalanan sekarang, tak ada larangan dan gangguan. Suatu hari ketika aku sedang mabuk aku pergi kota dan berhenti di depan toko musik dan dari balik kaca aku melihat sebuah gitar yang membuatku ingin memilikinya. Gitar itu yang selama ini selalu kuinginkan, obsesiku. Darah Merah 6 Senar. Seakan gitar itu adalah segalanya bagiku. Aku menyadari bahwa gitar itu adalah satu-satunya cara untuk mengekspresikan diriku. Itulah caraku untuk membuang semua rasa sakit dan frustasiku sekaligus membuka kembali karakter-karakter yang sudah memudar. Karena dengan gitar itu akan kubuat laguku sendiri dan aku tahu bahwa takdirku adalah musik. "berapa harga gitar itu pak" tanyaku pada sang penjual "200 dollar" jawabnya singkat. Aku merogoh sakuku dan kuhabiskan semuanya untuk membeli gitar. Tapi aku tahu aku harus pergi dari tempat ini jika aku ingin sukses.
Aku yang masih berumur 16 tahun memutuskan untuk pergi mencari jati diriku dan yang satu kata yang kuingat adalah semboyan keluargaku "hidup,bekerja, mati" . Aku tak tahu kemana aku akan pergi, tapi aku tak bisa menunggu untuk pergi kesana. Yang kutahu hanyalah aku pergi dari rumah, pergi dari kehidupan lamaku. Aku pergi karena jika aku tetap tinggal disana aku tahu persis apa yang akan terjadi padaku. Aku akan mati. Maka aku pergi ke kota besar hanya berbekal harapan, ketertarikan, dan kesempatan untukku hidup dan bermusik tanpa penyiksaan yang selama ini aku dapatkan. Aku menumpang sepanjang jalan dengan
sebuah koper di satu tangan dan gitar di tangan yang
lain dan saat aku berdiri di tepi kota yang penuh keajaiban
ini. Aku berpikir bahwa ini akan menjadi rumah baruku. Tempat yang aku beri nama "ARENA KEBAHAGIAN" .
Dua tahun aku hidup dan berjuang di arena ini. Mencoba menciptakan musik yang berbeda dan merekamnya. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang pengusaha bernama Charlie. Dulunya ia seorang pengacara sellama 25 tahun sampai ia menemukan bahwa ia bisa membantu lebih banyak orang di industri musik dibandingkan di pengadilan. Dan sekarang dia telah menjadi pimpinan salah satu perusahaan musik terbesar di dunia. Baginya industri musik adalah domba yang memimpin sang gembala. Charlie bilang industri musik adalah tempat dimana semua orang menjual semuanya. Dimana semua artis akan melakukan apapun untuk sebuah ketenaran. Tempat dimana musik datang untuk mati.
Melalui dirinya aku mempelajari semua yang aku butuhkan dalam industri musik yang sebelumnya aku tak tahu. Dia bilang dia akan menjadikanku seorang bintang. Sesuatu hal terbesar yang dunia punya. Kesempatan besar itu akhirnya datang. Aku pun memutuskan untuk mengikuti Charlie. "O.K. nak disinilah kesepakatannya. Siapkah kau mengambil resiko?" tanya Charlie "Ya" kujawab dengan mantap. " Tanda tangani kontrak ini dan aku akan mempertemukanmu dengan seseorang" katanya sambil menyodorkan kertas yang kutahu itu adalah kontrak kerjaku. Lalu dia memperkenalkanku pada seorang manager bernama Alex Rodman. Aku mulai bekerja sama dengannya dan bersama, kami bisa mengusai dunia dalam hitungan bulan dan membuatku menjadi terkenal bahkan sebelum album pertamaku dirilis.
Beberapa hari sebelum perilisan album pertamaku, aku duduk di taman dekat apartemenku, seorang wanita peramal menghampiriku dan bertanya apakah boleh dia meramalkan keberuntunganku. "bolehkah aku meramalkan masa depanmu anak muda?" Aku yang belum pernah melakukan hal itu pun dengan cepat mengiyakan permintaannya "ya, lakukanlah dengan baik". Dia mengeluarkan beberapa kartu remi dan mulai menebak masa laluku. Dia bercerita dengan baik sampai pada detail-detailnya. Tentang penderitaan masa kecilku, kakakku dan orang tuaku. Dia melihat saat ini aku dengan perjuanganku akan berhasil dan memenuhi impianku dan bahwa aku akan menemukan kebahagiaan baru untukku. Tapi setelah
sekitar sepuluh menit ia berhenti dan aku ingin tahu masa depanku dan aku memohon padanya untuk terus meramal "ayolah aku siap mendengarnya" desakku padanya dan akhirnya dia berbicara. Dia menunjukkan penglihatan yang akan sangat mengganggu untuk diriku. Aku mengatakan kepadanya
bahwa aku ingin kekayaan dan ketenaran, dan dalam kartu ia melihat seorang pahlawan jatuh. Dia menatapku dan berkata "Berhati-hatilah pada apa yang kau minta, karena mungkin semua akan menjadi nyata, kau mungkin akan punya segalanya namun aku ragu dengan kebahagianmu". Aku bertanya padanya apakah dia yakin dengan apa yang ia lihat. Dan dengan pandangan kosong dia berbalik dan pergi meninggalkanku bersama kartunya yang menghantuiku disisa hidupku.
Kesuksesan berhasil kudapatkan dengan mudah. Lebih banyak rekaman yang terjual lebih banyak hal yang bisa kudapatkan. Teman, uang, wanita, mobil, rumah. Membuatku menjadi pecandu hedonisme dan pada saat itu seorang masuk ke ruanganku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai dokter. Aku bertanya padanya dokter macam apa dia "siapa kau dan dokter macam apa kau ini?", lalu dia menjawab " namaku Sam kau boleh memanggilmu Paman Sam dan aku akan menjadi doktermu ". Jawabannya membingungkanku. Namun dia meyakinkan diriku bahwa ia hanya ingin menjadi temanku. Akupun tak kuasa menahan hasratnya.
Tiga tahun selanjutnya sungguh tahun yang suram bagiku. Narkoba menjadi santapan baruku dan alkohol sudah menjadi coca cola bagiku. Dan Dokter Rockter atau Paman Sam menjadi teman baruku yang menurutku tak lebih dari seorang pecandu dan aku tak pernah mendengar hatiku berbicara padaku sejak malam itu. Aku sekarang dipuncak karirku dan dunia melihatku seperti yang kuimpikan. The Idol, the Great Crimson Idol. Sekarang aku sudah punya semua yang nampak. Semuanya, kecuali satu hal yang berarti lebih untukku dari apapun. Rasa sakit yang berubah menjadi obsesiku. Penerimaan diriku oleh orang tuaku, orang yang tak pernah kubicarakan sejak aku meninggalkan rumah.
Di suatu pagi managerku Alex datang dan membatalkan salah satu malam pestaku. "aku harus membatalkan semuanya, agar kau tak terus menerus seperti ini". pestaku adalah ketika semua orang datang kerumahku, band, dokter, para wanita dll. Dan kami menonton film lalu melakukan apapun yang ada di film tersebut. Dan Alex akan meninggalkan jika aku tak segera berhenti dari kebiasaan ini. "baiklah aku akan mencoba melepaskan semua ini". Ini tidak berarti bahwa ia peduli tentang diriku, sebagai orang yang tertarik pada bakat ku dan apa yang aku bisa lakukan untuk memajukan karirnya sebagai manager yang nyata. Tapi hal itulah yang menyadarkanku bagaimana hal itu pergi begitu.
Setelah sekian lama akhirnya aku memutuskan untuk menggelar konser tunggal. Aku meminta Alex untuk menyiapkan semuanya. Diapun menyanggupinya. Tiga hari selanjutnya aku sudah bersiap-siap dibalik panggung. "aku rasa ini adalah konserku yang terakhir, aku ingin kembali ke orang tuaku" kataku pada Alex. "kalau itu keputusanmu aku takkan melarangnya, terima kasih untuk kerjasamanya selama ini" jawab Alex, seakan dia mengerti perasaanku. Aku melangkah keatas panggung dengan mantap. Lagu demi lagu kunyanyikan hingga akhirnya aku sampai di puncak acara. Aku menyanyikan lagu yang aku buat dijalanan. Kusapa semua penonton. "Terima kasih kalian sudah datang di konserku terbaikku. Karena mungkin malam ini adalah malam terakhir aku menggelar konser. Terima kasih semuanya, kalian luar biasa". Lalu kunyanyikan lagu terakhir dan meninggalkan panggung itu.
Sepulang konser aku duduk sendirian di apartemenku dengan rasa sakit. Dan aku sudah berhenti dari alkohol dan obat-obatan tapi aku kini dimabukan oleh ketenaranku sendiri dan kini aku punya cukup keberanian untuk mengangkat telepon dan memanggil nomor tersebut. Pikiranku jadi tak menentu aku tak tahu apa yang akan terjadi dan rasa takut itu mengalahkanku. Aku pelan-pelan meletakkan telepon namun tiba-tiba kudapati suara seseorang dan seperti mengirim kedinginan melalui tubuhku yang aku sendiri tak pernah tahu. Itu adalah ibuku. Sulit bagiku untuk berbicara, hatiku berdebar tapi aku akan melakukan yang
terbaik yang aku bisa. Dia sangat dingin. Tapi aku tahu kejutan tiba-tiba yang terdengar olehku setelah beberapa tahun yang luar biasa.Dan aku berharap bahwa semua waktu yang terlewati mampu menyembuhkan luka yang begitu dalam antara aku dan orang tuaku. Tapi... Aku sangat ingin mereka mengakui diriku. Karena hanya itu yang kumau selama ini . Aku harap kesuksesanku akan membuktikan kelayakanku sebagai anak mereka. Dan mereka akan menyambutku sebagai seorang anak yang hilang. Semua yang aku inginkan hanyalah membuat mereka bangga padaku. Namun kurang dari 50 kata yang mereka ucapkan. Empat kata terakhir mereka adalah "kami tidak punya putra". Hatiku remuk mendengar kata-kata itu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi agar orang tuaku mau menerimaku.
Beberapa luka memang takkan bisa disembuhkan dan lukaku telah melukaiku sepanjang waktu. Malam itu aku seorang bintang besar merasa jatuh dari langit. Semuanya sudah kudapat. Tapi mengapa, mengapa aku tak bisa mendapatkan pengakuan dari orang tuaku. Seberapa durhaka aku ini Tuhan?. Percuma semua yang aku dapat ini jika orang tuaku tak merasa bangga padaku. Malam itu aku kembali teringat dengan Michael. Rasanya hanya dia yang mampu mengerti perasaanku.
Malam itu aku begitu depresi. Kulihat gitar milikku. Entah bagaimana, hal itu terlintas begitu saja di otakku. Keinginan untuk mengakhiri hidupku. Karena sesuai semboyan keluargaku "Hidup , Bekerja, Mati" kini aku sudahh sampai di bagian terakhir semboyan itu. Aku ingin bertemu Michael disana. Aku lepaskan 6 senar yang ada pada gitar kesayanganku. Kuucapkan selamat tinggal pada dunia. Pada semuanya, orang tuaku yang tak pernah menganggapku, Charlie, Alex, Paman Sam dan semua yang kukenal melalui surat yang kutinggalkan. Kugantung diriku dengan enam senar tersebut. Aku siap untuk mati. Selamat tinggal semuanya. Ya aku adalah The One. Akulah sang Idol.
Namaku Jonathan Steel aku terlahir dari orang tua bernama William dan Elizabeth Steel. Aku punya kakak bernama Michael. Dia lima tahun lebih tua dariku. Ayahku menjulukinya Si Merah walaupun dia berambut pirang. Namun demikian dia terperangkap dengan nama itu. Dari awal aku sudah tahu kalau ayahku begitu dekat dengan Michael, dan aku tak dianggap dalam rencana ayahku . Dan saat aku tumbuh dewasa, perbedaan yang mencolok antara aku dan Michael membuatku sedikit ragu akan pandangan yang aku dapat dari mata ayahku. Baginya, Michael tak pernah salah dan aku hanya seorang bocah tak terlihat dan selalu dianggap sebagai kambing hitam. Dan aku menyadari bahwa Merah dan Hitam tak bisa sesuai. Hantaman mental yang kudapat membuatku lebih dan lebih ingin bertanya tentang poin penting yang selama ini aku pendam. "apakah aku seorang anak yang tak pernah diinginkan?" Itulah pertanyaan yang selalu aku pendam. Namun anehnya aku selalu ingin mengikuti jejak ayahku.
Michael dan aku seperti campuran yang aneh, kami bagai cahaya dan kegelapan. Sangat sulit dipercaya bahwa kami lahir dari orang tua yang sama. Terkadang aku membayangkan seandainya mereka bertiga pergi bersama, namun selalu saja hal itu tak bisa diwujudkan. Tapi Michael yang selalu melihat ketidaksukaan orang tuaku terhadapku, selalu mencoba yang terbaik untuk menyemangatiku. Dia selalu menyemangati diriku tentang diriku yang selalu dibedakan dan dia tahu itu. Michael selalu berkata bahwa ketika aku lahir, dia melihat malaikat terbang di atas tubuhku dan berkata "kau harus menjadi seseorang". Dan aku tak mengerti apa arti "seseorang" itu, namun ketika aku mulai dewasa aku mulai mengerti artinya.
Beberapa anak biasanya menempatkan ibu mereka sebagai sahabat, namun tidak demikian dengan diriku. Ibuku berpendirian, tidak berpendidikan, kadang-
kadang berprasangka, sombong, percaya segala
sesuatu yang dia baca, walaupun itu benar atau tidak. Pikirannya membingungkan tapi dia cantik,
sangat cantik dan aku sering bertanya-tanya dalam batasan kebingungan, bagaimana seseorang dengan deskripsi seperti ini bisa
hidup rasional. Itullah serangkaian karakter yang sering kujumpai dalam hidupku.
Dalam rasa sakit, misteri dari semua penderitaanku membuatku mengartikan apa arti hidupku ini; depresi adalah musuhku, ketakutan adalah temanku, kebencian adalah sahabatku, dan kemarahan adalah penyemangatku. Empat karakter dalam kehidupanku yang akan kujadikan penjaga dalam hidupku dan pengontrol semua yang aku lakukan. Hingga sampai suatu hari karakter-karakter itu mulai memudar
Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke 14, Hari yang mengubah kehidupanku untuk selamanya. Kakakku Michael, seseorang yang selalu melindungiku, temanku, pahlawanku terbunuh. Dia ditabrak oleh pengendara mabuk. Dia tewas seketika. Aku bahkan tidak bisa berdiri untuk pergi
ke pemakamannya. Kesedihanku bertambah karena aku tahu aku takkan melihatnya lagi. Ketidakhadiranku di pemakaman Michael membuat kebencian orang tuaku padaku bertambah. Dan sejak saat itu, tak ada yang menghiraukanku, aku bagai hidup di neraka yang aku sebut "rumah" . Setahun setelah kematiannya aku semakin muak dengan rumahku, Aku lebih sering berkeliaran di jalan-jalan dalam kabut
hampir tidak sadar akan apapun atau siapapun. Minum-minuman, mengonsumsi obat-obatan adalah kehidupan baru yang aku anggap menarik, menakutkan sekaligus berbahaya.
Selanjutnya aku tak pernah lagi pulang ke rumah. Aku hidup dijalanan sekarang, tak ada larangan dan gangguan. Suatu hari ketika aku sedang mabuk aku pergi kota dan berhenti di depan toko musik dan dari balik kaca aku melihat sebuah gitar yang membuatku ingin memilikinya. Gitar itu yang selama ini selalu kuinginkan, obsesiku. Darah Merah 6 Senar. Seakan gitar itu adalah segalanya bagiku. Aku menyadari bahwa gitar itu adalah satu-satunya cara untuk mengekspresikan diriku. Itulah caraku untuk membuang semua rasa sakit dan frustasiku sekaligus membuka kembali karakter-karakter yang sudah memudar. Karena dengan gitar itu akan kubuat laguku sendiri dan aku tahu bahwa takdirku adalah musik. "berapa harga gitar itu pak" tanyaku pada sang penjual "200 dollar" jawabnya singkat. Aku merogoh sakuku dan kuhabiskan semuanya untuk membeli gitar. Tapi aku tahu aku harus pergi dari tempat ini jika aku ingin sukses.
Aku yang masih berumur 16 tahun memutuskan untuk pergi mencari jati diriku dan yang satu kata yang kuingat adalah semboyan keluargaku "hidup,bekerja, mati" . Aku tak tahu kemana aku akan pergi, tapi aku tak bisa menunggu untuk pergi kesana. Yang kutahu hanyalah aku pergi dari rumah, pergi dari kehidupan lamaku. Aku pergi karena jika aku tetap tinggal disana aku tahu persis apa yang akan terjadi padaku. Aku akan mati. Maka aku pergi ke kota besar hanya berbekal harapan, ketertarikan, dan kesempatan untukku hidup dan bermusik tanpa penyiksaan yang selama ini aku dapatkan. Aku menumpang sepanjang jalan dengan
sebuah koper di satu tangan dan gitar di tangan yang
lain dan saat aku berdiri di tepi kota yang penuh keajaiban
ini. Aku berpikir bahwa ini akan menjadi rumah baruku. Tempat yang aku beri nama "ARENA KEBAHAGIAN" .
Dua tahun aku hidup dan berjuang di arena ini. Mencoba menciptakan musik yang berbeda dan merekamnya. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang pengusaha bernama Charlie. Dulunya ia seorang pengacara sellama 25 tahun sampai ia menemukan bahwa ia bisa membantu lebih banyak orang di industri musik dibandingkan di pengadilan. Dan sekarang dia telah menjadi pimpinan salah satu perusahaan musik terbesar di dunia. Baginya industri musik adalah domba yang memimpin sang gembala. Charlie bilang industri musik adalah tempat dimana semua orang menjual semuanya. Dimana semua artis akan melakukan apapun untuk sebuah ketenaran. Tempat dimana musik datang untuk mati.
Melalui dirinya aku mempelajari semua yang aku butuhkan dalam industri musik yang sebelumnya aku tak tahu. Dia bilang dia akan menjadikanku seorang bintang. Sesuatu hal terbesar yang dunia punya. Kesempatan besar itu akhirnya datang. Aku pun memutuskan untuk mengikuti Charlie. "O.K. nak disinilah kesepakatannya. Siapkah kau mengambil resiko?" tanya Charlie "Ya" kujawab dengan mantap. " Tanda tangani kontrak ini dan aku akan mempertemukanmu dengan seseorang" katanya sambil menyodorkan kertas yang kutahu itu adalah kontrak kerjaku. Lalu dia memperkenalkanku pada seorang manager bernama Alex Rodman. Aku mulai bekerja sama dengannya dan bersama, kami bisa mengusai dunia dalam hitungan bulan dan membuatku menjadi terkenal bahkan sebelum album pertamaku dirilis.
Beberapa hari sebelum perilisan album pertamaku, aku duduk di taman dekat apartemenku, seorang wanita peramal menghampiriku dan bertanya apakah boleh dia meramalkan keberuntunganku. "bolehkah aku meramalkan masa depanmu anak muda?" Aku yang belum pernah melakukan hal itu pun dengan cepat mengiyakan permintaannya "ya, lakukanlah dengan baik". Dia mengeluarkan beberapa kartu remi dan mulai menebak masa laluku. Dia bercerita dengan baik sampai pada detail-detailnya. Tentang penderitaan masa kecilku, kakakku dan orang tuaku. Dia melihat saat ini aku dengan perjuanganku akan berhasil dan memenuhi impianku dan bahwa aku akan menemukan kebahagiaan baru untukku. Tapi setelah
sekitar sepuluh menit ia berhenti dan aku ingin tahu masa depanku dan aku memohon padanya untuk terus meramal "ayolah aku siap mendengarnya" desakku padanya dan akhirnya dia berbicara. Dia menunjukkan penglihatan yang akan sangat mengganggu untuk diriku. Aku mengatakan kepadanya
bahwa aku ingin kekayaan dan ketenaran, dan dalam kartu ia melihat seorang pahlawan jatuh. Dia menatapku dan berkata "Berhati-hatilah pada apa yang kau minta, karena mungkin semua akan menjadi nyata, kau mungkin akan punya segalanya namun aku ragu dengan kebahagianmu". Aku bertanya padanya apakah dia yakin dengan apa yang ia lihat. Dan dengan pandangan kosong dia berbalik dan pergi meninggalkanku bersama kartunya yang menghantuiku disisa hidupku.
Kesuksesan berhasil kudapatkan dengan mudah. Lebih banyak rekaman yang terjual lebih banyak hal yang bisa kudapatkan. Teman, uang, wanita, mobil, rumah. Membuatku menjadi pecandu hedonisme dan pada saat itu seorang masuk ke ruanganku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai dokter. Aku bertanya padanya dokter macam apa dia "siapa kau dan dokter macam apa kau ini?", lalu dia menjawab " namaku Sam kau boleh memanggilmu Paman Sam dan aku akan menjadi doktermu ". Jawabannya membingungkanku. Namun dia meyakinkan diriku bahwa ia hanya ingin menjadi temanku. Akupun tak kuasa menahan hasratnya.
Tiga tahun selanjutnya sungguh tahun yang suram bagiku. Narkoba menjadi santapan baruku dan alkohol sudah menjadi coca cola bagiku. Dan Dokter Rockter atau Paman Sam menjadi teman baruku yang menurutku tak lebih dari seorang pecandu dan aku tak pernah mendengar hatiku berbicara padaku sejak malam itu. Aku sekarang dipuncak karirku dan dunia melihatku seperti yang kuimpikan. The Idol, the Great Crimson Idol. Sekarang aku sudah punya semua yang nampak. Semuanya, kecuali satu hal yang berarti lebih untukku dari apapun. Rasa sakit yang berubah menjadi obsesiku. Penerimaan diriku oleh orang tuaku, orang yang tak pernah kubicarakan sejak aku meninggalkan rumah.
Di suatu pagi managerku Alex datang dan membatalkan salah satu malam pestaku. "aku harus membatalkan semuanya, agar kau tak terus menerus seperti ini". pestaku adalah ketika semua orang datang kerumahku, band, dokter, para wanita dll. Dan kami menonton film lalu melakukan apapun yang ada di film tersebut. Dan Alex akan meninggalkan jika aku tak segera berhenti dari kebiasaan ini. "baiklah aku akan mencoba melepaskan semua ini". Ini tidak berarti bahwa ia peduli tentang diriku, sebagai orang yang tertarik pada bakat ku dan apa yang aku bisa lakukan untuk memajukan karirnya sebagai manager yang nyata. Tapi hal itulah yang menyadarkanku bagaimana hal itu pergi begitu.
Setelah sekian lama akhirnya aku memutuskan untuk menggelar konser tunggal. Aku meminta Alex untuk menyiapkan semuanya. Diapun menyanggupinya. Tiga hari selanjutnya aku sudah bersiap-siap dibalik panggung. "aku rasa ini adalah konserku yang terakhir, aku ingin kembali ke orang tuaku" kataku pada Alex. "kalau itu keputusanmu aku takkan melarangnya, terima kasih untuk kerjasamanya selama ini" jawab Alex, seakan dia mengerti perasaanku. Aku melangkah keatas panggung dengan mantap. Lagu demi lagu kunyanyikan hingga akhirnya aku sampai di puncak acara. Aku menyanyikan lagu yang aku buat dijalanan. Kusapa semua penonton. "Terima kasih kalian sudah datang di konserku terbaikku. Karena mungkin malam ini adalah malam terakhir aku menggelar konser. Terima kasih semuanya, kalian luar biasa". Lalu kunyanyikan lagu terakhir dan meninggalkan panggung itu.
Sepulang konser aku duduk sendirian di apartemenku dengan rasa sakit. Dan aku sudah berhenti dari alkohol dan obat-obatan tapi aku kini dimabukan oleh ketenaranku sendiri dan kini aku punya cukup keberanian untuk mengangkat telepon dan memanggil nomor tersebut. Pikiranku jadi tak menentu aku tak tahu apa yang akan terjadi dan rasa takut itu mengalahkanku. Aku pelan-pelan meletakkan telepon namun tiba-tiba kudapati suara seseorang dan seperti mengirim kedinginan melalui tubuhku yang aku sendiri tak pernah tahu. Itu adalah ibuku. Sulit bagiku untuk berbicara, hatiku berdebar tapi aku akan melakukan yang
terbaik yang aku bisa. Dia sangat dingin. Tapi aku tahu kejutan tiba-tiba yang terdengar olehku setelah beberapa tahun yang luar biasa.Dan aku berharap bahwa semua waktu yang terlewati mampu menyembuhkan luka yang begitu dalam antara aku dan orang tuaku. Tapi... Aku sangat ingin mereka mengakui diriku. Karena hanya itu yang kumau selama ini . Aku harap kesuksesanku akan membuktikan kelayakanku sebagai anak mereka. Dan mereka akan menyambutku sebagai seorang anak yang hilang. Semua yang aku inginkan hanyalah membuat mereka bangga padaku. Namun kurang dari 50 kata yang mereka ucapkan. Empat kata terakhir mereka adalah "kami tidak punya putra". Hatiku remuk mendengar kata-kata itu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi agar orang tuaku mau menerimaku.
Beberapa luka memang takkan bisa disembuhkan dan lukaku telah melukaiku sepanjang waktu. Malam itu aku seorang bintang besar merasa jatuh dari langit. Semuanya sudah kudapat. Tapi mengapa, mengapa aku tak bisa mendapatkan pengakuan dari orang tuaku. Seberapa durhaka aku ini Tuhan?. Percuma semua yang aku dapat ini jika orang tuaku tak merasa bangga padaku. Malam itu aku kembali teringat dengan Michael. Rasanya hanya dia yang mampu mengerti perasaanku.
Malam itu aku begitu depresi. Kulihat gitar milikku. Entah bagaimana, hal itu terlintas begitu saja di otakku. Keinginan untuk mengakhiri hidupku. Karena sesuai semboyan keluargaku "Hidup , Bekerja, Mati" kini aku sudahh sampai di bagian terakhir semboyan itu. Aku ingin bertemu Michael disana. Aku lepaskan 6 senar yang ada pada gitar kesayanganku. Kuucapkan selamat tinggal pada dunia. Pada semuanya, orang tuaku yang tak pernah menganggapku, Charlie, Alex, Paman Sam dan semua yang kukenal melalui surat yang kutinggalkan. Kugantung diriku dengan enam senar tersebut. Aku siap untuk mati. Selamat tinggal semuanya. Ya aku adalah The One. Akulah sang Idol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar